Tugas ini dibuat semata-mata untuk memenuhi Tugas Mata
Kuliah Praktik Jurnalistik yang diampu oleh Dosen Ari Ambarwati, M.Pd
Jenang merupakan masakan kuliner khas
tradisional masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah terutama Kota Solo dan Yogya.
Keberadaan jenang pada tradisi masyarakat Jawa, sudah hidup mengakar turun
temurun dari nenek kakek moyang sejak zaman Hindu dan era Walisongo sampai masa
kini. Namun perlu di pahami bahwa pengertian jenang bagi orang Jawa Tengah,
Solo dan Yogya berarti bubur, sedangkan bagi orang Semarang dan lain-lain
adalah dodol.
Jenang dibuat dari tepung beras atau tepung ketan, dimasak
dengan santan ditambahkan gula merah atau gula putih. Kehadiran jenang tidak
hanya sekedar berfungsi sebagai makanan pelengkap, melainkan juga simbol doa,
harapan, persatuan dan semangat masyarakat Jawa itu sendiri. Artinya jenang
adalah lambang ritual masyarakat Jawa dan simbol ungkapan rasa syukur kepada
Gusti Allah atas karunia hasil bumi ciptaanNya yang telah menghidupi manusia
dari proses kelahiran sampai kematian.
Secara sosiologis jenang merupakan
jenis kuliner yang lahir dari kreativitas masyarakat dan eksistensinya bebas
dari atribut status sosial dan etnis. Atau dengan kata lain jenang bersifat
demokratis, egaliter, spiritual dan relegius. Sifat yang melekat secara
implisit itulah yang bisa membuat jenang punya nilai edukatif pada masyarakat.
Suatu nilai edukatif dalam membangun kebersamaan masyarakat Solo untuk saling
berbagi dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Jawa khususnya di wilayah
Surakarta dan sekitarnya, melakukan semua ritual selamatan tidak pernah lepas
dari kehadiran jenang. Tradisi simbolisasi itu diperlihatkan dalam berbagai
acara kegiatan, mulai dari pembangunan rumah, kelahiran anak, slametan, dan
ritual-ritual kejawen lainnya.
Namun kebanyakan masyarakat saat ini menganggap jenang
sebatas makanan ringan tradisional Jawa. Banyak yang belum mengetahui filosofi
dibalik simbolisasi Jenang dalam tradisi acara selamatan masyarakat Jawa.
Masyarakat awam hanya tau jika ada ritual harus ada jenang, tanpa mengetahui
makna dibaliknya. Padahal semua macam jenis jenang yang disajikan dalam acara
selamatan itu mengandung makna bagi masyarakat Jawa, khususnya orang Solo dan
sekitarnya dengan segala ritual tradisinya.
Adapun makna filosofi itu sebagai berikut :
Jenang Procotan :
makna kehadirannya untuk mendoakan supaya ibu yang hamil diberikan
kelancaran dalam melahirkan.
Jenang Sepasaran : makna kehadirannya ketika memberi nama
kepada bayi setelah lahir.
Jenang Sungsum : makna kehadirannya bagi yang punya hajat
pernikahan, supaya pengantin dan seluruh panitia yang terlibat diberi
kesehatan, berkah dan kekuatan.
Jenang Abrit Petak : mempunyai makna warna merah dan putih
merepresentasikan penciptaan / asal-usul manusia laki-laki dan perempuan,
jenang maknanya selalu melihat sesuatu dengan dimensi yang luas, namun tetap
fokus dengan apa yang menjadi tujuan.
Jenang Saloko : maknanya kesucian itu milik Allah. Manusia
harus selalu mewaspadai nafsu 'aku' pada dirinya berani mengoreksinya dirinya,
sebagai jalan untuk bisa mengenal Allah, jenang manggul maknanya kita harus
menjunjung tinggi kebaikan leluhur yang telah mewariskan segala bentuk
pengetahuan pada siri kita, jenang suran maknanya waktu itu terbatas dan selalu
menjalani siklusnya. Kita seharusnya ingat masa lalu dan memperbaiki masa
depan.
Jenang Timbul : mempunyai makna harapan tidak selalu menjadi
kenyataan. Manusia harus ingat Allah dan selalu berdoa untuk mewujudkan
harapannya menjadi kenyataan.
Jenang Grendul : maknanya kehidupan itu seperti cakra
penggilingan seperti roda yang berputar kadang di atas dan di bawah /
naik-turun. Kita perlu menemukan kestabilan dari perbedaan yang terjadi dalam
kehidupan.
Jenang Sumsum : maknanya pada diri manusia melekat sifat
kelemahan dan kekuatan. Kekuatan pada diri manusia sebaiknya digunakan untuk
nilai-nilai kebaikan.
Jenang Lahan : maknanya lepas dan hilang semua nafsu negatif,
iri, dengki, sombong dan sebagainya dihadapan Allah.
Jenang Pati : maknanya melebur nafsu dan pasrah kepada Allah.
Jenang Kolep : maknanya manusia sebagai mahkluk sosial selalu
dihadapkan pada perbedaan. Menghormati dan menghargai perbedaan dalam
masyarakat yang plural dan multikultur menjadi nilai yang penting dalam
kehidupan sehari-hari.
Jenang Ngangrang : maknanya manusia seharusnya belajar
mengontrol emosi kemarahannya, agar kekuatan pada dirinya bisa bermanfaat untuk
sesama.
Jenang Taming : maknanya belajar menjaga kekuatan pada diri
kita dengan berdoa kepada Allah dan mengenali serta memahami kelemahan diri
sendiri.14. Jenang Lemu Mawi Sambel Goreng : maknanya tak lemah membangun
semangat baru dalam kehidupan.
Jenang Koloh : maknanya kesempurnaan adalah tujuan hakiki
kehidupan manusia, yang sering dilalaikan dalam kesibukan sehari-hari. Kita
perlu terus berproses menuju kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
Jenang Katul : maknanya kita hidup tak bisa berdiri sendiri,
selalu membutuhkan orang lain.
Jenang Warni Empat : maknanya simbul nafsu yang melekat pada
diri manusia. Warna merah simbol amarah. Putih menyimbolkan Muthamainah, kuning
artinya aluamah dan hijau maknanya sufiyah (nafsu yang selalu ingin memiliki
duniawi. Kita dituntut mengendalikan keempat jenis nafsu yang melekat pada diri
kita.
Jenang Sengkolo : terdiri dari jenang abang (merah) dan putih
yang merupakan simbol dari keberadaan manusia di dunia. Jenang abang (merah)
melambangkan lelaki, dan jenang putih melambangkan perempuan. Adanya Jenang
Sengkolo disetiap ritual, agar manusia selalu ingat jikalau dunia terisi oleh
dua esensi, feminin dan maskulin.
Mengambil materi dari :
http://gastroina.blogspot.co.id/2015/05/filosofi-jenang.html