Tugas ini dibuat semata-mata untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik
Jurnalistik yang diampuh oleh Dosen Ari Ambarwati, M.Pd
Sore itu seperti sore biasa, Mia
pulang terlambat dari sekolahnya. Kegiatan ekstra kulikuler SMA banyak menyita
waktunya akhir-akhir ini. Dia membuka pintu dengan lemas dan segera menuju
dapur. Berharap segelas air putih, bisa meyejukkan tenggorokannya yang kering.
Belum dia menyentuh ketel air yang berwarna biru itu, langkahnya terhenti. Dia
melihat ibunya tertidur diatas sofa, di pojok ruang makan itu.tangan ibunya
masih memegang celemek yang dia pakai jika memasak. Wajah ibunya yang dimakan
usia tersirat hidupnya yang getir.
Setiap hari tanpa henti mengupas
bumbu dapur lalu menjualnya kerumah makan. Harga yang didapat tidak pernah
sebanding dengan keringat dan luka yang membekas dijarinya. Mata mia
berkaca-kaca, dia mendekati ibunya lalu mencium keningnya. "ibu, aku
pulang." sapa mia dengan lembut, lalu dia bermanja, memijat kaki ibunya
perlahan. "ibu ketiduran ya?" beliau tersipu, lalu mengelus rambut
anak perempuannya itu. "pindah kekamar bu, biar aku yang melanjutkan
pekerjaan ibu" kata mia. "jangan, kau buat saja PR-mu. Ibu sudah
tidak lelah lagi." Ibunya lalu berdiri. "ibu, aku saja." Mia
merengek. Ibunya menggelengkan kepala. Jika dia diam artinya dia serius. Mia
yang sedikit kecewa. Duduk di meja makan dan mengeluarkan bukunya. Ibunya
tersenyum melihat anak perempuannya mulai belajar. Karena bagi dirinya ilmu
adalah misteri. Dia tidak bisa membaca dan menulis. Karena itu dia mempunyai
hasrat yang kuat, agar anaknya tidak bernasib seperti dirinya. Mia terkejut,
teh hangat dan manis kini ada didepannya. Ibunya yang diam-diam membelakanginya
ternyata membuatnya teh kesukaannya.
Sore itu masih seperti biasa sampai
seorang lelaki mabuk datang dan berteriak-teriak.
"istriku, mana istriku yang ke tiga ini bersembunyi" lelaki itu berjalan oleng dan menjatuhkan beberapa keramik. "itu ayahmu, mia, kau masuklah kekamarmu. sembunyi" ibunya panik. Mia pun bereaksi refleks. Karena hal ini sudah dilakukannya sejak masih kecil. Mia duduk dipojok kamarnya, memeluk bantal, memejamkan mata tapi telinganya mencuri dengar.
"mana uang itu?,’’ kata ayah mia memaki ibunya. "ampun pak, uang itu untuk Mia sekolah. jangan pak" ibu Mia memelas. "diam, anak itu tidak perlu sekolah. Kau kawin kan saja dia." lalu terdengar suara tamparan yang keras. "jangan pak. Pukul saja aku sepuasmu, tapi jangan renggut masa depan Mia." ibunya memelas lagi. PRAAKKKKKK, suara pecahan kaca terhempas. Mia semakin mengerut. Lalu terdengar suara orang yang berlari. Tapi suara ibunya tak terdengar sama sekali.
"istriku, mana istriku yang ke tiga ini bersembunyi" lelaki itu berjalan oleng dan menjatuhkan beberapa keramik. "itu ayahmu, mia, kau masuklah kekamarmu. sembunyi" ibunya panik. Mia pun bereaksi refleks. Karena hal ini sudah dilakukannya sejak masih kecil. Mia duduk dipojok kamarnya, memeluk bantal, memejamkan mata tapi telinganya mencuri dengar.
"mana uang itu?,’’ kata ayah mia memaki ibunya. "ampun pak, uang itu untuk Mia sekolah. jangan pak" ibu Mia memelas. "diam, anak itu tidak perlu sekolah. Kau kawin kan saja dia." lalu terdengar suara tamparan yang keras. "jangan pak. Pukul saja aku sepuasmu, tapi jangan renggut masa depan Mia." ibunya memelas lagi. PRAAKKKKKK, suara pecahan kaca terhempas. Mia semakin mengerut. Lalu terdengar suara orang yang berlari. Tapi suara ibunya tak terdengar sama sekali.
Mia keluar kamar dengan tubuh
gemetar, dia perlahan mendekati kamar ibunya. Gemetar tubuh Mia terhenti. Dia
terhempas kelantai melihat tubuh ibunya. Darah mengalir dikepala ibunya.
Tubuhnya mulai basah karena darah. Tangan ibunya masih menggenggam beberapa
helai uang ribuan. Uang yang akan menjanjikan masa depan Mia. Dia tertegun,
orang yang paling dicintai dan disayangnya kini terbaring tak bernyawa. Seperti
orang kehilangan jiwa Mia berjalan pelan menuju dapur. Diambilnya pisau yang
masih tergeletak dilantai. Lalu dia berjalan pelan keluar rumahnya seperti
tidak ada apa-apa. Didalam kepalanya saat ini. Hanya ada satu hal. Mengeluarkan
hati ayahnya yang menurutnya tak pernah dipakai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar