Tugas ini dibuat semata-mata untuk memenuhi
Tugas Mata Kuliah Praktik Jurnalistik yang diampu oleh Dosen Ari Ambarwati,
M.Pd
Mentari bersinar cerah, angin siang berhembus pelan seakan mendukung
kecerahan suasana siang itu, dua sahabat terlihat bersantai di ruang depan. Fika membiarkan angin
sore menerpa wajah ayunya. Sesekali ia melihat ke arah Roni yang duduk di
sampingnya. Pandangannya lurus ke depan seakan memberi tahu kalau ia sedang
menunggu seseorang. Fika sudah biasa dengan suasana seperti itu. Duduk santai
berjam-jam dengan Roni, berselimut keheningan. ”kamu masih mikirin Rasti, Ron?”
Fika mencoba menebak. Cowok itu sebentar memalingkan wajahnya ke arah Fika lalu
kembali memandang lurus ke depan, ia berfikir tanpa di jawabpun Fika sudah tau
jawabannya, ”aku ngerti kok Ron, tapi kamu jangan mikir Rasti terus, kamu
pikirkan juga penyakitmu, kamu harus banyak istirahat” Fika mengingkan Roni ”aku
tau Fika, aku sudah berusaha kok untuk melupakan Rasti”. Roni tersenyum tipis,
ia tatap wajah Fika sahabatnya sejak
kecil itu. Mungkin kalau tanpa Fika yang selalu menemaninya, ia tak akan
merasakan kebahagiaan hidup. ”Ron, udah sore aku pulang ya?”. Fika bangkit dari
duduknya. ”dan ingat jangan mikirin Rasti terus nanti kesambet lho...”. Kata
Fika yang diiringi tawa Roni. Setelah tubuh Fika hilang di balik pagar, Roni
tersenyum sendiri mengingat kata – kata Fika tadi. Rasti… ya Rasti ! cewek
cantik yang pernah mengisi hatinya dengan cinta, namun kini cewek itu telah
pergi entah kemana, pergi tanpa sebab dan hanya meninggalkan kenangan di hati
Roni.
Dua hari berlalu tanpa terasa. Fika
yang kini aktif kuliah pagi itu terlihat sibuk di kampus. Tiba – tiba HP nya
berdering, ”halo... tante... Rumah sakit? baik tante” dengan cepat Fika
membereskan buku – bukunya dan bergegas kerumah sakit menuju tempat dimana
sahabatnya terbaring lemas. ”Ron, Roni.....bangun” panggil Fika namun badan itu
terbujur lemas tanpa gerak. Fika memalingkan wajahnya kearah wanita yang sehari tadi tak henti menghapus
air matanya, ”apa kata Dokter tante?”tanya Fika. ”katanya tante harus segera
menemuka donor ginjal” wanita itu kembali terisak, ”tapi kemana Fik?” wanita itu tetap terisak. Fika diam, ”kita
pasti akan menemukan jalan keluar” fikir Fika. Gadis itu menarik nafas panjang
kembali ia pandangi wajah Roni sahabatnya. Ingin Fika menangis dan berteriak, tapi ia tak
akan melakukannya. Fika tak ingin menjadi cewek cengeng. Ia teringat kata –
kata Roni waktu itu. ”Hidup ini
perjuangan, hidup ini berani menghadapi tantangan”.
Roni
masih tetap terbaring lemas, sudah tiga hari tak ada tanda–tanda kemajuan kesehatan
dalam tubuh cowok itu. Siang itu suasana sepi hanya mama Roni yang terlihat
penuh kasih sayang menemani putranya. Tiba – tiba pintu terbuka, seorang suster
muda masuk ” ibu keluarga pasien?” tanya suster itu ramah, ”iya saya mamanya
sus” . ”Maaf, sekarang ibu di minta untuk ke ruang dokter, mari silahkan...”
suster itu tersenyum. Mama Roni bangkit melangkah menuju ruang dokter. ”Ibu
Imelda...” kata dokter itu setelah ia duduk berhadapan dengan mama Roni.
”Setelah sekian hari ternyata ada orang yang mau mendonorkan ginjalnya untuk
putra ibu”. ”yang benar dok, tapi mana mungkin?.” kata mama Roni tak percaya ”awalnya
saya juga ragu, tapi orang itu bersungguh – sungguah ingin mendonorkan
ginjalnya untuk putra ibu dan saya sendiri tidak bisa apa-apa”. Dokter menjelaskan pada mama Ronidan mama
Roni bernafas lega, ingin rasanya Imelda bertemu dengan malaikat itu. ”apapun
akan aku berikan kepada orang itu, kalau perlu aku akan bersujud di kakinya.”
batin mama Roni.
Malam berlalu, esokpun muncul,
butiran – butiran kristal bahagia menghiasi hati Imelda. Putra kesayangannya
hari ini akan operasi. Sejak pagi Imelda di rumah sakit. Tapi ia tidak melihat
malaikat yang akan mendonorkan ginjal pada putranya itu. Tubuh Roni telah
dibawa ke ruang operasi. Mama Roni memaksa Dokter ingin bertemu orang itu,
orang yang akan menyelamatkan nyawa anaknya. Langkah Imelda terhenti saat
seorang gadis berdiri membelakangi pandangannya. Imelda berdiri mematung ”
Fika...” suaranya hampir tak terdengar, namun perlahan gadis yang dipanggilnya
menoleh. ”tante harap orang yang di maksud dokter bukan kamu Fika ”. Katanya
tak percaya. Ia tatap wajah Fika yang selama ini telah dianggap sebagai
anaknya. ” Fika kuat kok tante, Fika hanya ingin menolong Roni”. ”Kamu jangan
gila Fik, kamu....” ”Tante jangan kawatir, Fika kuat kok hidup dengan satu
ginjal”, dengan cepat Fika memotong perkaataan Imelda. Ia melepas pelukan
Imelda dan melangkah menuju dokter yang menunggunya ” hanya satu permintaan Fika tante, tante
janji akan merahasiakan ini semua”. Kata Fika sebelum ia benar – benar pergi
dari hadapan Imelda yang masih terisak.
Operasi
berjalan lancar, cowok cakep itu masih tetap di rumah sakit untuk memulihkan
kondisinya. Seperti biasa saat jam kuliah berakhir Fika menuju Rumah sakit
menemu sahabatnya. Pandangannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di
samping Roni. Sepertinya gadis itu terisak dengan posisi yang masih berdiri di
pintu. Samar – samar namun jelas Fika mendengar apa yang gadis itu bicarakan.
”Ron, kamu maukan maafin aku. Aku sayang banget sama kamu. Karna itu aku pergi,
sebab aku nggak mau di jodohin sama Aldo, cowok pilihan orang tua aku. Waktu
itu aku bingung gimana caranya menghubungin kamu”. Rasti memeluk erat tangan
Roni. ” Sekarang Aldo udah nikah makanya aku berani pulang ke rumah dan nemui
kamu untuk ngejelasin semuanya. Karna aku sayang kamu Ron....!!!” gadis itu
menjelaskan panjang lebar. ” Udah Ras, aku udah maafin kamu ko’, aku juga
sayang sama kamu”. ”makasih ya Ron...” katanya saraya tersenyum karna ia
merasakan cinta Roni masih milikya.
Hari ini Roni sudah diperbolehkan pulang.
Rasti berada di sampingnya sejak pagi tadi, tapi sepertinya cowok itu masih
menunggu seseorang “ Fika mana ya ma? “ “ Oya, mama lupa, tadi Fika telpon hari
ini ia banyak tugas di kampus, dia minta maaf tidak bisa menemani kamu pulang.”
Mama Roni menjelaskan saraya menatap putranya yang seperti masih tak percaya.
Pagi
harinya cowok itu mondar mandir di ruang tengah, Imelda hanya bisa melihatnya
dari jauh. “Fika kanapa sih di telpon nggak aktif, di samperin kerumahnya ada
di kampus, di samperin ke kampus keluar ada acara sama temannya”, Roni
menggerutu sendiri dalam hatinya. “ Ma, hari ini fika telpon mama nggak ? “,
“nggak sayang, kenapa? kangen?”, ”ah mama, gak biasanya ma, udah dua hari, tumben
Fika nggak ngasik kabar “. Roni menghempaskan tubuhnya di sofa. Imelda pun
melangkah meninggalkan Roni sendiri.
Waktu
terus berputar, pagi itu saat Roni keluar dari kamar, dia heran melihat mamanya
tergesa – gesa menuruni tangga. “ Ma.....Mama mau kemana?”. Teriak Roni, namun
wanita itu tidak menghiraukan roni yang sedang mengejar langkahnya. Imelda
terus melangkah ke luar, masuk ke mobil. Dengan cepat dan tanpa di komando Roni
ikut masuk ke mobil seperti tak ingin ketinggalan, cowok itu duduk di samping
mamanya. Roni terus bertanya. ” Jalan man, ” kata Imelda pada sopir. ” Ma,
please.......... jawab dong. ” pinta Roni. Melihat kepanikan di wajah mamanya
Roni pun diam, percuma wanita itu tidak
menghiraukannya. Imelda turun dari mobil ”kenapa ke Rumah sakit? siapa yang
sakit ma ?” teriak Roni. ”Udah nanti mama jelasin”. Wanita itu mempercapat
langkahnya. ”Jangan–jangan, Fika?” Roni menyusul langkah mamanya yang semakin
cepat. Imelda berhenti di depan pintu sebuah kamar. ”Ma, Fika kenapa?” roni
memegang bahu mamanya. “ Fika kritis Ron...” wanita itu terisak, “apa? jadi...”
tiba – tiba seorang dokter keluar membuka pintu. Dokter itu menarik nafas
panjang dan menggeleng pelan, dengan cepat roni menghambur masuk. Langkah Roni
tetahan, atap rumah sakit terasa runtuh menimpanya. Saat dua suster mencabuti
alat – alat pengobatan yang selama ini menancap di tubuh sahabatnya. MamaFika
menangis di pelukan suaminya. “ Fik, Fika......” Roni mengguncang tubuh sahabatnya . “ Fika
kenapa tante?”. “Fika udah pergi Ron, dia meninggalkan kita, hiks...hiks...”,
“nggak mungkin, Fika.........!!!! “. Butiran bening kini mengalir dari pipi
Roni. “kenapa mama bohong sama Roni,Mama tau semuanya tapi mama nggak bilang
sama Roni, Fika sahabat Roni ma, sekarang apa yang bisa roni lakukan?”, “
maafin mama Ron mama melakukan semua ini karna Fika yang memintanya”. Imelda
terus menangis. Ruangan itu diselimuti duka. Malaikat itu sudah pergi bukan tuk
sementara tapi selamanya.
Langit mendung menyelimuti
kota, angin siang berhembus hangat seakan merasakan duka yang mendalam. Satu
persatu orang meninggalkan pemakaman. Rasti yang ikut kepemakaman tak henti
menghibur Roni, suasana hening “ Ron... “ terdengar suara mama Fika serak, ia
menyarahkan sepotong kertas pada cowok itu. ”Buat kamu, Fika menulisnya saat ia masih sakit”
katanya saraya menangis. Lalu bangkit membiarkan Roni dalam terpaku menatap
kertas di tangannya. Mama Fika melangkah pergi dipapah suaminya di ikuti Rasti.
Seakan cewek itu mengerti dan meninggalkan Roni yang lagi butuh sendiri.
Perlahan lipatan kertas itu di bukanya;
Aku pikir aku kuat, ternyata nggak, aku ingin seperti kamu
yang tidak cengeng, tapi sekarang aku sakit dan aku ngga’ mau kamu lihat aku
dalam keadaan cengeng, juga aku tidak mau kamu sedih karna aku sakit.
Ron........ Cinta kasih itu muncul entah kapan dan terus
berjalan, aku bahagia hidup denganmu walau hanya bagai sahabat, namun aku lebih
bahagia bisa hidup di tubuhmu. Hidup sebagai sahabat jiwamu dalam jiwamu dengan
cinta dan kerinduan yang kurasa telah aku miliki.
FIKA
Tak terasa kertas itu basah, Roni meraba tubuhnya,
terima kasih Fika. Kamu harus tau, bagiku kamu tidak mati dan tidak akan pernah
mati, jujur cinta ini telah jadi milikmu sejak Rasti pergi dulu. Rasti adalah
cintaku, sedang engkau adalah isi jiwaku, yang akan tetap hidup selamanya.